Saya ditraktir makan mie di kedai mie yang terkenal. Harganya tidak
mahal dan rasanya sangat lezat sekali. Kami duduk di depan meja panjang
yang dapat menampung sekitar sepuluh orang bila mengelilingi meja. Meja
sudah terisi enam orang, saya, teman saya dan empat orang pengunjung.
Ketika asyik makan, satu keluarga baru duduk di dekat kami. Tepatnya di
antara teman saya dan pengunjung lainnya. Mereka telah memesan mie dan
sedang menunggu. Keluarga tersebut terdiri dari sepasang suami istri
yang masih muda dan seorang anak yang berusia sekitar enam tahun.
Mereka keluarga yang jauh dari sederhana. Pakaiannya agak kusam
dan berbau. Si anak kelihatannya baru sembuh dari suatu penyakit yang
tidak kami ketahui dan sedang menarik ingusnya keluar masuk. Ingusnya
seperti angka sebelas dan terkadang seperti angka satu dengan warna
kuning kehijau-hijauan. Si ibu dengan penuh kasih sayang mengelap ingus
yang tidak berhenti keluar masuk hidung anaknya. Pasangan itu sangat
bahagia melihat anaknya bermain sambil tertawa. Sepertinya makan mie
merupakan perayaan menyambut kesembuhannya. Saat mie datang keluarga
tersebut makan dengan lahap. Keadaan tersebut tidak berlaku bagi kami
semua terkecuali teman saya. Bagi kami berlima (termasuk saya) keadaan
tersebut merupakan bencana dan penyiksaan. Bayangkan aja, bagaimana
rasanya makan mie dengan mencium satu keluarga yang bau badannya tidak
enak. Belum lagi melihat dan mendengar ingus yang ditarik keluar masuk
dan sesekali dibersihkan oleh ibunya. Setiap kali memakan mie sambil
meminum kuahnya, rasanya seperti ingus telah tercampur dengan makanan
dan membuat selera makan hilang. Tidak berapa lama kemudian, keempat
pelanggan yang duduk semeja dengan kami meninggalkan meja satu persatu-
tanpa menghabiskan makanan. Melihat ini ada rasa kepahitan yang
terpancar diwajah keluarga muda itu, seperti rasa rendah diri dan
terasing melihat sikap saya dan empat pengunjung lainnya. Tetapi itu
tidak berlangsung lama, terutama saat mereka melihat teman saya,
keceriaan mereka pulih kembali. Teman saya tetap menikmati mie dengan
segala kecuekannya. Seolah-olah tidak ada bau disekitarnya dan tidak ada
suara ingus yang didengar. Saya tidak bisa berbuat banyak selain
belajar cuek dan menghabiskan sisa mie. Lagi pula saya ditraktir makan
dan tidak berhak mengajukan hal-hal yang aneh-aneh dan tidak sopan.
Selesai makan, kami masih duduk dua puluh menit sebelum meninggalkan
kedai makanan. Saya heran dengan tingkah teman saya yang diluar
kebiasaannya. Biasanya setelah makan, ia hanya duduk paling lama sepuluh
menit. Sekali lagi saya harus mengikuti kemauan teman saya dengan
jengkel.
Akhirnya kami keluar meninggalkan kedai dan keluarga muda, saya
merasa lega. Dalam perjalanan pulang, teman saya mengatakan ia sangat
terganggu duduk di samping keluarga tersebut. Ia merasakan rasa bau dan
merasa terganggu dengan suara ingus anaknya. Ia merasakan tepat seperti
yang saya rasakan. Teman saya juga mengatakan, jika ia meninggalkan
keluarga tersebut di saat mereka bergembira, keluarga itu akan merasa
terpukul, tidak berharga, terasing dan putus asa. Si suami sedang
memberi yang terbaik bagi keluarganya. Mereka bersukacita merayakan
kesembuhan anaknya. Si suami telah mengeluarkan uang yang bagi mereka
cukup mahal dari hasil kerja keras hanya untuk memberikan yang terbaik
bagi keluarganya. Uang itu tidak begitu banyak untuk ukuran kami tetapi
tidak bagi keluarga itu. Saya sangat terkejut mendengar penuturan teman
saya. Dan tidak menyangka teman saya telah melakukan sesuatu yang luar
biasa bagi keluarga itu. Dengan caranya yang khas, bertahan makan mie
sampai habis dan menunggu dua puluh menit setelah makan, telah memberi
semangat baru bagi keluarga itu. Saya teringat bagaimana rasa kepahitan,
rendah diri dan terasing di wajah kedua suami istri ketika melihat
pelanggan yang lain meninggalkan meja tanpa menghabiskan makanan dan
melihat tingkah saya. Saya juga teringat bagaimana pasangan ini kembali
ceria begitu melihat sikap teman saya yang cuek. Pertama kali dalam
hidup ini, saya menyadari dan menyaksikan bagaimana mengasihi sesama
tanpa mengatakan sesuatu benar-benar tidak mustahil.
Ini benar-benar
keajaiban. Cukup hanya dengan meneruskan makan mie sampai habis. Masa
bodoh dengan sikap saya dan pengunjung lain yang tidak terpuji. Menunggu
dua puluh menit setelah selesai makan. Yang terakhir menahan rasa bau
untuk menyempurnakan segalanya telah menunjukkan suatu keajaiban kasih
dan dilakukan oleh seorang teman. Ajaib bagaimana teman saya menegor
saya tanpa mengatakan sesuatu. Ia tidak menuduh tetapi cukup telak
memukul saya. Saya merasa sangat terpukul, malu tetapi tidak marah. Saya
kembali mengingatkan diri sendiri bagaimana mudahnya mengatakan
mengasihi sesama tetapi tidak melakukannya.